Keranda mayat (Foto: Ilustrasi/Net)

Risalah Kematian: Saat Kematian Menjadi Jalan Pulang

Oleh: H. Derajat | Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita


KEMATIAN adalah peristiwa yang pasti datang dan tidak seorang pun mampu menghindarinya. Ia menjadi misteri yang menimbulkan berbagai tafsir: sebagian orang takut menghadapinya, sementara sebagian lainnya menantikan dengan penuh kerinduan — sebab di sanalah perjumpaan sejati dengan Sang Kekasih Abadi.

Guru agung para pencinta Ilahi, Syekh Jalaluddin Rumi (1207–1273 M), pernah berkata:

“Mengetahui bahwa Engkaulah yang mengambil kehidupan, kematian menjadi sangat manis. Selama aku bersama-Mu, kematian bahkan lebih manis dibandingkan kehidupan itu sendiri.”

Kematian: Antara Ketakutan dan Kerinduan

Bagi kebanyakan manusia, kematian dipandang sebagai akhir yang menyedihkan — penuh tangisan, kehilangan, dan rasa takut. Namun, bagi para pecinta Tuhan, kematian justru adalah pintu menuju pertemuan, jembatan antara yang mencintai dengan yang dicintai.

Rumi menggambarkan kematian sebagai perayaan cinta. Dalam Fihi Ma Fihi, beliau menuturkan bagaimana di malam terakhir hidupnya, ia masih bersenandung lembut menulis syair penuh rindu:

“Di malam sebelumnya aku bermimpi. Melihat seorang syekh di pelataran rindu. Ia menudingkan tangannya padaku dan berkata: ‘Bersiaplah untuk bertemu denganku.’”

Ketika demam parah menimpa Rumi, tak tampak sedikit pun ketakutan di wajahnya. Justru ia menampakkan kebahagiaan dan melarang sahabat-sahabatnya bersedih atas kepergiannya. Ia tahu, kematian bukanlah perpisahan — melainkan pertemuan.

Kematian Sebagai Perayaan Cinta

Dalam salah satu syairnya yang terkenal, When I Die, Rumi menulis:

“Ketika kau melihat jenazahku diusung, jangan menangis karena kepergianku. Aku tidak pergi — aku telah sampai pada Cinta Yang Abadi.”

“Ketika engkau meninggalkanku di kuburan, jangan ucapkan selamat tinggal. Kuburan hanyalah tirai menuju Surga di baliknya.”

“Ketika matahari terbenam, itu tampak seperti akhir. Padahal sejatinya, itu adalah fajar baru.”

Rumi menegaskan bahwa kematian bukanlah kegelapan, melainkan awal dari cahaya. Ia seperti benih yang jatuh ke bumi untuk kemudian tumbuh menjadi kehidupan baru. Ruh manusia tidak hilang — ia hanya berpindah dari satu ruang kesadaran ke ruang yang lebih tinggi.

Dua Jenis Kematian: Alami dan Mistikal

Dalam pandangan para sufi, kematian memiliki dua dimensi:

1. Mati Idhtirari (Mati Alami)

Kematian fisik yang pasti dialami semua makhluk. Ia adalah perpindahan alam — dari dunia menuju barzakh dan seterusnya ke kehidupan abadi: surga atau neraka.

2. Mati Ikhtiyari (Mati Mistikal)

Inilah yang disebut “mati sebelum mati”, yaitu kematian spiritual yang dicapai melalui perjalanan batin. Seseorang “mati” dari hawa nafsunya, dari ego, dan dari segala keterikatan dunia. Ia hidup hanya untuk Allah semata.

Dalam Thariqah Naqsyabandiyah, para sufi membagi kematian mistikal ini dalam beberapa tingkatan:

Mati Thabi’i: Jiwa mulai mendengar panggilan Allah dari dalam dirinya.

Mati Ma’nawi: Hati menyaksikan kalimat Lailahaillallah sebagai realitas tunggal.

Mati Shuri: Pandangan dan pendengaran duniawi lenyap, hanya nur Ilahi yang tersisa.

Mati Hissi: Kesadaran total bahwa “tiada yang ada kecuali Allah.”

Kesimpulan: Kematian Adalah Keindahan

Kematian, dalam pandangan para sufi, bukan akhir, melainkan puncak perjalanan cinta. Ia bukan kegelapan, melainkan fajar yang menyinari ruh menuju keabadian.

Bila hidup adalah perjalanan untuk mengenal-Nya, maka kematian adalah saat untuk kembali dalam pelukan-Nya. Seperti Rumi menulis:

“Jangan menangis untukku, karena saat itulah aku terbang ke surga cintaku.”

Maka, sahabatku, tidak ada yang perlu dirisaukan dari kematian, sebab di sanalah kita

akhirnya akan bertemu — dengan Dia yang selama ini kita cintai.***

2025-10-20
x

Check Also

Nasaruddin Umar Minta Maaf, Ini Tahun Terakhir Kemenag Jadi Penyelenggara Haji

2025 menjadi tahun terakhir bagi Kementerian Agama (Kemenag) sebagai penyelenggara ibadah haji. Tahun depan, urusan ini akan ...

Exit mobile version