Manfaatkan Tarif Impor AS yang Lebih Rendah, Perusahaan China Ramai-ramai Ekspansi ke Indonesia

Perusahaan-perusahaan China semakin gencar membidik Indonesia sebagai lokasi ekspansi untuk menghindari tarif impor tinggi Amerika Serikat (AS).

Mereka memanfaatkan tarif AS sebesar 19% untuk barang dari Indonesia, yang lebih rendah dibanding tarif impor dari China yang kini melampaui 30%.

Tarif 19% tersebut setara dengan Malaysia, Filipina, dan Thailand, serta sedikit di bawah Vietnam yang 20%.

Namun, Indonesia memiliki keunggulan tambahan sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, dan pasar konsumen yang besar.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia tumbuh 5,12% pada kuartal II/2025, tercepat dalam dua tahun.

Pertumbuhan ini didukung belanja rumah tangga yang menyumbang lebih dari separuh PDB dan naik 4,97% yoy, terbantu banyaknya libur nasional.

“Jika bisa membangun kehadiran bisnis kuat di Indonesia, berarti sudah menguasai setengah pasar Asia Tenggara,” ujar Zhang Chao, produsen lampu depan motor asal China yang beroperasi di Indonesia — pasar motor terbesar ketiga dunia, sebagaimana dilaporkan Reuters.

Gelombang pertama diversifikasi bisnis China sebelumnya menguntungkan Vietnam dan Thailand. Namun, gejolak perdagangan terbaru dengan AS mendorong investor China melirik negara tetangga lain, termasuk Indonesia.

Mira Arifin, Country Head Bank of America di Indonesia, menyebut Indonesia menawarkan talenta melimpah dengan demografi muda yang dinamis. “Investor asing dapat cepat membangun skala bisnis di sini,” ujarnya.

Presiden Prabowo Subianto juga mempererat hubungan dengan Beijing, bertemu Presiden Xi Jinping pada November dan menerima kunjungan PM Li Qiang di Jakarta pada Mei.

Data menunjukkan investasi dari China dan Hong Kong ke Indonesia naik 6,5% yoy menjadi USD8,2 miliar pada semester I/2025.

Total investasi asing langsung (FDI) tumbuh 2,58% menjadi Rp432,6 triliun (USD26,56 miliar), dengan proyeksi peningkatan pada paruh kedua tahun ini.

Meski peluang besar, tantangan tetap ada. Investor asing menyoroti hambatan regulasi, birokrasi, pembatasan kepemilikan, infrastruktur terbatas, dan rantai pasok yang belum sekuat China.

Kebijakan fiskal hati-hati Prabowo dan program populis seperti makan gratis untuk anak sekolah dan ibu hamil juga menjadi perhatian.

Di kawasan industri Subang Smartpolitan, Jawa Barat, permintaan dari investor China melonjak sejak kesepakatan dagang AS–Indonesia diumumkan bulan lalu.

“Telepon, email, dan WeChat kami langsung ramai, semuanya dari China,” kata Abednego Purnomo, VP Sales, Marketing, dan Tenant Relations PT Suryacipta Swadaya.

Permintaan terbesar datang dari produsen mainan, tekstil, hingga kendaraan listrik, yang mencari properti dengan fasilitas lengkap, terutama dekat Pelabuhan Patimban.

Colliers International Indonesia mencatat harga properti industri dan gudang naik 15%–25% yoy pada kuartal I/2025, kenaikan tercepat dalam 20 tahun.

“Permintaan lahan industri hampir setiap hari, banyak yang mencari bangunan siap pakai untuk segera beroperasi,” kata Rivan Munansa dari Colliers.

Zhang mengaku menyewa kantor baru empat lantai di Jakarta pada Mei dengan harga 100.000 yuan (USD13.936) per tahun, naik 43% dari tahun lalu.

“Margin laba di Indonesia bisa 20%–30%, jauh di atas China yang kadang hanya 3%,” ujarnya.

Menurut Marco Foster, Direktur ASEAN di Dezan Shira & Associates, Indonesia menonjol bukan hanya karena peluang diversifikasi rantai pasok, tetapi juga karena pasar domestik raksasa yang jarang dimiliki negara lain di kawasan.***

2025-08-14
x

Check Also

Bapanas: Harga Pangan Awal Agustus 2025 Didominasi Kenaikan

Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat lonjakan tajam harga cabai rawit merah di tingkat konsumen menjadi ...

Exit mobile version