JAMBITERKINI – Harga gas bumi sedang terjun mengikuti kejatuhan harga minyak bumi yang kini sudah di bawah US$ 50 per barel. Meski harga gas bumi turun namun hal ini tidak berdampak terhadap harga gas untuk kebutuhan di domestik.
Harga gas untuk kebutuhan domestik masih tinggi dan tidak ikut turun. Hal ini diprotes oleh para pelaku industri di dalam negeri yang konsumsi gasnya tinggi, misalnya industri baja, industri kaca, industri keramik. Sebetulnya apa penyebab harga gas domestik masih tinggi sedangkan harga gas di pasar ekspor turun?
Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menjelaskan bahwa anomali ini terjadi karena harga gas untuk domestik tidak mengacu kepada Indonesian Crude Price (ICP) atau harga minyak mentah Indonesia. Berdasarkan kontrak jual-beli dengan para produsen, harga gas untuk domestik berlaku tetap (fixed) sehingga tidak terpengaruh naik turunnya harga minyak dunia.
“Harga gas kita tidak berlaku harga crude (ICP) untuk domestik, harga crude itu berlaku untuk ekspor,” kata Kepala Bagian Humas SKK Migas, Elan Biantoro, dalam Media Gathering Total E&P di Hotel Aston, Bogor, Sabtu (5/9/2015).
Dia menerangkan, harga gas untuk ekspor kini murah hingga terkadang bahkan lebih murah dari harga gas yang dijual ke dalam negeri karena dampak jatuhnya harga minyak dunia.
“Sekarang karena harga crude-nya murah maka harga ekspornya cuma US$ 7 per MMBTU. Dulu harga ekspor kita sampai USD 16 per MMBTU karena harga crude-nya (ICP) US$ 100 per barel,” paparnya.
Menurut dia, harusnya industri di dalam negeri tak protes karena dulu harga gas domestik jauh di bawah harga ekspor ketika ditetapkan, sebab saat itu harga minyak dunia masih melambung tinggi. (Detik.com)